Sabtu, 17 Maret 2012

Hukum Waris dalam Hukum Perdata

Nama  : Hendra Eka Rusmedia
NPM    : 23210207
Kelas  : 2EB22 

Tugas umum 2
Aspek Hukum Dalam Ekonomi #  

Hukum Waris dalam Hukum Perdata
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Pada azasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja, terkecuali hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang tidak dapat diwariskan, seperti perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan pemberian kuasa. Adapun hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang dapat diwariskan, yaitu hak dari suami untuk menyangkal keabsahan anak.
Penempatan hukum waris terdapat pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yakni :
  • Perwaris, yakni yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta.
  • Ahli waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Adapun prinsip umum dalam kewarisan perdata antara lain :
  • Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
  • Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 833 KUHPerdata, yang menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
  • Yang berhak mewaris menurut UU adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata;
  • Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi; dan
  • Setiap orang cakap untuk mewaris (terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).
KUHPerdata juga mengatur mengenai syarat-syarat pewarisan hukum waris perdata, yang antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Pewaris meninggal dan meninggalkan harta;
  2. Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah. Hal ini untuk maksud mewaris berdasarkan undang-undang;
  3. Ahli waris harus patut mewaris atau cakap mewaris, dan pengecualian terdapat pada ketentuan Pasal 838 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan, bahwa orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah :
  • Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
  • Dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah    mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
  • Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; dan
  • Dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.
Dalam KUHPerdata juga diatur mengenai hal dimana terjadi peristiwa yang menyebabkan pewaris dan ahli waris meninggal secara bersama-sama, hal ini disebutkan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa apabila beberapa orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal karena suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan terjadi peralihan warisan dan yang seorang kepada yang lainnya. Oleh karenanya, dalam hal ini dapat ditegaskan kembali bahwa jika tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, maka tidak saling mawaris, akan tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu karena bilamana terdapat selisih 1 (satu) detik  maka  dianggap tidak meninggal bersamaan.
Cara-cara mewaris dalam KUHPerdata juga dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :
Mewaris berdasarkan UU (ab intestato)
  • Atas dasar kedudukan sendiri. Dalam hal ini penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata, antara lain :
  1. Golongan 1, sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;
  2. Golongan II, sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;
  3. Golongan III, sebagaimana disebutkan pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
  4. Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858 sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata.
  • Atas dasar penggantian. Dalam hal ini penggantian disyaratkan apabila orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Adapaun macam-macam penggantian diantaranya adalah :
  1. Dalam garis lengcang ke bawah tanpa batas, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 842 KUHPerdata;
  2. Dalam garis menyamping, saudara digantikan anak-anaknya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 844 KUHPerdata; dan
  3. Penggantian dalam garis samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau keponakan.
Dalam waris perdata juga diatur mengenai bagian anak luar kawin yang diakui, hal ini diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 863 KUHPerdata. Bagian Anak Luar Kawin (ALK) diakui dalam KUHPerdata dengan pengaturan sebagai berikut :
-    Bersama golongan 1, maka ALK mendapat 1/3 dari bagian anak sah.
-    Bersama golongan II, maka ALK mendapat ½ dari harta peninggalan.
-    Bersama golongan III, maka ALK mendapat ¾ dari harta peninggalan.
Mewaris berdasarkan testament.
Dalam hal ini testamen merupakan suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap herta setelah pewaris meninggal dunia dan dapat dicabut kembali (pernyataan sepihak), testament ini diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata. Adapun unsur-unsur testament antara lain :
-          Akta;
-          Pernyataan kehendak;
-          Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap harta;
-          Dapat dicabut kembali.
Dan testament tersebut memuat hal-hal sebagai berikut,
  • Syarat-syarat dalam membuat testament, yakni antara lain :
  1. Dewasa atau berumur 18 (delapan belas) tahun. (cakap bertindak);
  2. Akal sehat;
  3. Tidak dapat pengampuan;
  4. Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, kekeliruan; dan
  5. Isi harus jelas.
  • Isi testament, yang antara lain memuat:
  1. Erfstelling, terdapat pada Pasal 954 KUHPerdata;
  2. Legaat (berhubungan dengan harta), terdapat pada Pasal 957 KUHPerdata;
  3. Codicil (tidak berhubungan dengan harta).
CONTOH KASUS MASALAH WARISAN ORANG TUA
Pada tahun 1986, ayah saya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Beberapa tahun kemudian, ibu sayajuga meninggal dunia karena sakit keras. Sebelum ibu saya meninggal dunia, ia telah memberikan wasiat agar seluruh harta warisannya dibagi dua; saya dan kakak saya, dibagi dua sama rata. Orang tua saya meninggalkan sebidang tanah dan kebun. Karena saya tidak bisa mengurusi maka harta warisan itu dikelola kakak saya. Saya terkadang mendapat bagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut, tetapi juga tidak. Meski demikian saya tidak begitu menuntut. Yang penting, tanah tersebut terawat dengan baik.
Sekitar 2 tahun sepeninggal ibu, ada salah satu tetangga yang menggugat kakak saya ke pengadilan. Isi gugatan tersebut menyatakan bahwa sawah yang kini dikelola kakak saya adalah milik orang tua dia. Katanya, tanah garapan itu bisa ke tangan orang tua saya, sebab tanah itu dulu digadaikan oleh orang tua dia, tetapi ia tidak bisa menebusnya. Hal itu berlangsung bertahun-tahun hingga orang tua dia meninggal dunia, tanah itu masih dikuasai orang tua saya. Itulah alasan versi dia. Akan tetapi saya tidak percaya, sebab saya punya bukti-bukti bahwa tanah itu milik orang tua saya.

Sumber :

Hukum Perjanjian

Nama  : Hendra Eka Rusmedia
NPM    : 23210207
Kelas  : 2EB22 

Tugas 2 no. 2
Aspek Hukum Dalam Ekonomi #  


2.Hukum Perjanjian


-Standar Kontrak



Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.

-Macam Macam Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian: pelaku perjanjian sudah dewasa / cakap dan terjadi kesepakatan. Dewasa menurut hukum perjanjian adalah berumur 21 tahun atau sudah menikah. Dewasa secara hukum berarti berumur 19 tahun (laki-laki) atau 16 tahun (wanita).
Yang dimaksud dengan seseorang yang berada di bawah pengampunya adalah orang-oranga yang lemah ingatan (idiot, gila, fisil, difisil). Idiot adalah mampu mengurus sendiri tapi tidak bisa berpikir secara orang kebanyakan. Fisil artinya mampu mengurus diri sendiri sebatas hal-hal tertentu. Difisil artinya tergantung pada orang lain.
Bersifat fakultatif artinya merupakan hak apriori, boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan.
Hak menguasai ada 2:
1. Hak milik, adalah hak yang tertinggi. Hak eigendom. Ia memiliki dan menguasai yang dimilikinya.
2. Hak menguasai atau hak pesit atau hak tidak sempurna. Ia hanya dapat menguasai, tapi tidak memiliki.
Bagian-bagian perjanjian:
1. Esensialia (harus ada): (missal untuk jual beli tanah) siapa penjual, hubungan penjual dengan yang dijual, siapa pembelinya, tanahnya luasnya berapa, lokasi, batas, ada harganya.
2. Naturalia (harus ada): hl-hal yang mengatur perjanjian seperti cara pembayaran (cash/angsur), cara penyerahan (cash/tidak cash)….. hal ini penting karena menyangkut tanggung jawab
3. Accidentalia (tidfak harus ada)

-Syarat Sah Perjanjian

PERJANJIAN merupakan suatu “perbuatan”, yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan:
Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang.
Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.
Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebutkreditur. Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Gareng berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya, sebagai pembeli Petruk wajib membayar lunas harga mobil itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya.
Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu pihak – atau keduanya – dalam perjanjin. Kedua-duanya merupakan subyek hukum, yaitu pihak-pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum, pihak-pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah entitas legal (legal entity). Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya – misalnya Direktur dalam Perseroan Terbatas – namun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagai legal entity.


-Saat Lahirnya Perjanjian


Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.



-Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pembatalan
Apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum . Dalam hal demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa, jadi bukan paksaan badan. Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Ada dua cara untuk memintapembatalan perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. 
Pelaksanaan
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjianperjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
  1. Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang;
  2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
  3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Contoh perjanjian yang pertama adalah : jual-beli, tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa.
Contoh perjanjian yang kedua adalah : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perubahan,perjanjian untuk membuat sebuah garasi.
Contoh perjanjian yang ketiga adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain. Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah :
  1. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
  2. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatupelaksanaan.
  3. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
  4. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat di manaperjanjian diadakan
  5. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain ; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjianseluruhnya yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.





Sumber :

Hukum Perdata

Nama  : Hendra Eka Rusmedia
NPM    : 23210207
Kelas  : 2EB22 

Tugas 2 no. 1
Aspek Hukum Dalam Ekonomi #  

1.Hukum Perdata

-Yang Berlaku di Indonesia  

hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukumperdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-UndangHukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlakusebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.


Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu keadaan hukum di eropa kacau balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidakpuasaan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum, lesatuan hukum dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”, karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jernonia dan Hukum Cononiek.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah weseel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-undang tersendiri dengan nama “ Code de Commerce”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-181), maka Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).

-Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

-Sistematika Hukum Perdata di Indonesia

08APR
Sistematika Hukum Perdata dibagi menjadi beberapa bagian, dalam beberapa bagian Buku, yaitu:
  1. Buku 1, Tentang Orang
  2. Buku 2, Tentang Benda
  3. Buku 3, tentang Perikatan
  4. Buku 4, Tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.
Menurut beberapa ahli hukum sistimatika ini salah, karena masih banyak
kelemahan didalamnya. Kelemahan sistimatika hukum perdata ini adalah ;
  1. Pada Buku 2, ternyata mengatur (juga) tentang hukum waris. Menurut penyusun KUHPer, hukum waris dimasukkan KUHPer karena waris merupakan cara memperoleh hak milik. Ini menimbulkan Tindakan Kepemilikan : Segala tindakan atas sesuatu karena adanya hak milik (Menggunakan, Membuang, Menjual, Menyimpan, Sewakan, dll).
  2. Pada Buku 4, tentang Pembuktian dan Daluwarsa, KUHPer (juga) mengatur tentang Hukum Formil. Mestinya KUHPer merupakan Hukum Materiil, sedangkan Hk. Formil nya adalah Hukum Acara Perdata.

Sumber :